Firman Allah SWT:
Maka ketahuilah,
bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mumin, laki-laki dan perempuan.
Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS.
47:19)
Wazir Abu Mudzaffar dalam kitabnya Al-Ifsoh berkata:
“SYAHADAT [PERSAKSIAN] “Laa Ilaaha Illallah” (TIADA TUHAN SELAIN ALLAH) ,
MENUNTUT KEPADA YANG BERSAKSI UNTUK MENGILMUI MAKNA “Laa Ilaaha
Illallah” INI, SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH DALAM qs 47:19. [1]
“LAA
ILAAHA ILLALLAH” adalah “kalimah Tauhid” yang menjadi dasar tegaknya
aqidah seorang muslim. Ia juga merupakan “kalimah Toyyibah” (kalimah
yang baik) [QS 14:26]. Seperti “pohon yang baik”, Yaitu kalimah yang
akarnya kuat menghunjam kedalam bumi dan batangnya menjulang tinggi
kelangit serta senantiasa berbuah setiap musim.
MAKNA ILAH
“ILAH”
berasal dari akar kata “aliha – Ya’luhu – Ilaahan”, artinya
kecenderungan terhadap sesuatu. “ILAH” secara semantiq (bahasa) dapat
berarti kecenderungan dan kerinduan seseorang kepada sesuatu yang ia
cintai, dengan suatu harapan mendapat pertolongan dan perlindungan
darinya dengan melakukan pengabdian untuknya”. [2]
Ibnu taimiyyah
berkata: “AL_ILAH” artinya adalah “Al-Ma’bud”(yang di Ibadahi)
Al-Muthoi (yang ditaati). Karena sesungghnya Al-Illah itu Ma’luh (yang
dianggap Tuhan) dan Ma’luh itu yang berhaq di Ibadahi. Dia harus
bersifat dengan sifat-sifat yang semestinya, yaitu dicintai dengan
puncak kecintaan dan di taati dengan puncak ketaatan”.(3)
Abu Abdillah Al-Qurthubi menafsirkan Laa ilaaha illallah dengan “Laa Ma’buda Illa Huwa” (Tidak ada yang diIbadahi selain Dia)(4)
Ibnu
Qoyyim berkata:” Al-Ilaah yaitu dimana hati merasa merendah kepada-Nya
dalam bentuk Mahabbah (kecintaan) , Mengagungkan, memohon pertolongan,
memuliakan, membesarkan, tunduk, takut, mengharap dan Tawakkal”(5)
Az-Zamakhsyari
berkata: “ Al-Illah termasuk dari isim Ajnas (nama jenis), seperti
manusia dan kuda. (dimana Al-Illah itu) digunakan untuk nama semua
Ma’bud (yang di Ibadahi) baik terhadap (Illah) yang benar maupun yang
Bathil, namun (penggunaannya) terkenal untuk Ma’bud yang benar”[6]. Jadi
pada intinya, para ulama sepakat mengartikan “Illah” dengan pengertian
“Ma’bud” (yang di Ibadahi). Ini Artinya, Al-Illah adalah objek
pengabdian (Ibadah) dan darma Bakti manusia, dan Alloh adalah Ilahul Haq
(Illah yang sebenar-benarnya) dan Ilahul Wahhid (Illah yang Esa). Hal
ini sesuai dengan konsep Laa ilaaha illalloh (tiada ilah / Tuhan selain
Alloh).
Karena Al-Illah adalah Al-Ma’bud (yang di Ibadahi), dan
menurut ibnu katsir ibadah itu meliputi 3 hal, yakni berkumpulnya 3
kesempurnaan: (1).Kaamalul Mahabah (kesempurnaan kecintaan, (2).
Kaamalul Khudlu’ (kesempurnaan ketundukan-kepatuhan), (3) Kaamalul
Tadzallul (kesempurnaan rasa rendah diri) konsekwensinya: kemana tiga
kesempurnaan sikap itu diarahkan, kesitulah dia ber-Illah (Tuhan).
MAKNA LAA ILAAHA ILLALLOH
Dalam kalimat Laa ilaaha illalloh, terkandung dua makna penting[8]:
1. Nafi (penolakan) seluruh bentuk Uluhiyyah (hak pengabdian) dari selain Alloh
2. Itsbat (menetapkan) Uluhiyyah (hak pengabdian Hamba) bagi Alloh yang Esa.
Musyahid
(yang bersaksi) bahwa “ Tiada Ilah selain Alloh” dituntut untuk berani
mengatakan “Tidak” terhadap segala bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh,
dalam arti menolak, mengkufuri dan tidak mau kompromi terhadap segala
bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh.
Dan dalam waktu yang bersamaan
ia dituntut untuk berani mengatakan “Ya” terhadap Alloh, dalam arti siap
setia, taat dan mengabdi hanya pada Alloh.
Firman Alloh SWT: “
Dan Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rosul agar mereka
beribadah (mengabdi) kepada Alloh dan menjauhi thoguth” (Q.S: 16:36)
Pengabdian Total (Q.S: 15:99) dan murni hanya pada Alloh (QS 39:2, 4:36), adalah bukti nyata pengamalan Laa ilaaha illalloh.
Kalimat
tauhid ini dimulai dengan ungkapan “Laa” yang artinya “Tidak” dengan
tiga muatan makna essensial yang terkandung dalam ungkapan “Laa” (Tidak)
terhadap segala bentuk Ilah (Tuhan) selain Alloh, yaitu:
1. Nafy
(menolak), tidak mengakui ilah selain Alloh, bahwa Alloh saja yang benar
yang lain tidak (QS 31:30), maka turunannya hanya hokum / undang-undang
Alloh yang haq (benar) dan diakui, selain itu tidak (QS 5:49-50)
2. Barro (berlepas diri), tidak ikut serta dalam tatanan peraturan atau system (prodak) ilah selain Alloh (60:4)
3. Shodama (siap menghancurkan), tidak bershabat dan tidak mau kompromi dengan segala bentuk Ilah selain Allah (60:4)
Kalimat tauhid ini juga dipungkasi dengan ungkapan “Illa” yang
artinya”Hanya”, dengan tiga muatan makna essensial yang terkandung dalam
ungkapan “Illa”, Hanya Alloh satu-satunya Ilah yang Haq (benar), yaitu:
1. Mahabbah, cinta sejati sepenuh jiwa kepada Alloh SWT (QS 2:165)
2. Khudlu, Tunduk patuh setia pada titah perintah Alloh SWT (QS 33:36)
3. Tadzallul, Berendah diri tiada arti dihadapan Alloh SWT semata
LOYALITAS DAN INDEPENDENSI
Salah
satu konsekwensi dari Laa ilaaha illalloh (tauhid) adalah menegakkan
Loyalitas (al-Wala’) dan independensi (Al-Barro). Kekeliruan menempatkan
loyalitas dan independensi, dalam analisa tauhid akan sangat patal
kejadiannya, bisa-bisa ia berada diluar jalur ke tauhidan.
Konsep
Al-Wala’ (loyalitas) dan Barro (independensi) adalah suatu konsep
terpenting dalam ajaran Islam yang wujud dari konsekwensi Laa ilaaha
illalloh. Dimana konsep ini merupakan salah satu ciri khas Aqidah Islam.
Tidak sempurna aqidahnya kecuali dengan menegakkan Al-Wala’ Wal Barro.
Dari
segi bahasa Al-Wala’ artinya adalah kecintaan, kedekatan, setia,
memprioritaskan dan membela (menolong), atau dalam kata lain dapat
diartikan dalam satu kata, yaitu “Loyalitas”.
Sementara Al-Barro
dari segi bahasa bermakna Kebencian, jauh dan permusuhan atau kita
ringkaskan dalam arti satu kata yaitu”Independensi”(pemutusan hubungan /
berlepas diri).
Al-Wala’ (loyalitas) bagi seorang muslim hanya
berhak diarahkan kepada Alloh, Rosul-Nya dan orang yang beriman yang
menegakkan Sholat, mengeluarkan Zakat serta ia tunduk patuh pada Alloh
(QS 5:55).
Sementara Al-Barro bagi seorang muslim wajib diarahkan
kepada segala bentuk ilah selain Alloh dan kepada orang-orang kafir,
musyrik dan munafiq (QS 60:4)
Haram hukumnya bagi seorang muslim
mengarahkan wala’nya kepada non muslim dan musuh-musuh Alloh, tindakan
seperti ini akan merusak aqidah dan cenderung membawa pelakunya kearah
kemurtadan.
Adapun bentuk Muwallah (kerjasama) yang haram dilakukan seorang muslim terhadap non muslim diantaranya[9]:
1. Mengangkat orang-orang kafir-musrik dan munafik sebagai pemimpin (QS 9:23, 5:51, 5:57)
2. Memberikan ketaatan, bantuan, pertolongan dan ikatan penuh (seumur
hidup) dengan orang-orang kafir (QS 59:11). Termasuk kedalam Wala’ jenis
ini ialah tindakan politisi yang mendukung, mengangkat dan membela
orang kafir, musyrik dan munafik, baik sebagai individu, kelompok atau
partai. Juga termasuk dalam kategori ini, tindakan orang-orang yang
menjadi anggota atau simpatisan yang mendukung dan setuju pada suatu
partai, organisasi atau lembaga sesat yang tegak diatas landasan selain
Islam.
3. Menyampaikan rahasia orang-orang mu’min kepada orang-orang kafir (QS 60:1)
4. Cinta dan berkasih sayang terhadap Orang Kafir (QS 58:22), artinya
lebih memprioritaskan kepentingan pihak musuh Alloh dari pada
kepentingan kaum Mu’min.
5. Duduk semajelis dengan orang kafir dan
munafiq dengan kerelaan, dan mendengarkan percakapannya yang memperolok
Al-Qur’an, serta berada tetap dalam Majelis tersebut tanpa membantah
atau menampakkan kemurkaan, atau keluar dari Majelis tersebut (QS 4:140)
6. Ketaatan kepada orang kafir baik secara individu maupun organisasinya(QS 33:48, 68:8-15, 18:28, 26:151-152)
7. Tasyabbuh, meniru atau menyerupai orang kafir dalam bidang aqidah
dan ibadah (QS Al-Kaafiruun). Sabda Rosululloh SAW:”Barang siapa yang
meniru suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu” (HR Ahmad, Abu
Daud dan Thobroni).
8. Menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia (QS 3:118)
9. Berhukum memakai hukum dan undang-undang Orang-orang kafir yang tidak merupakan hukum Alloh (QS 4:51, 2:101-102)
_____________________________
1. FATHUL MAJID (hlm. 52)
2. Meluruskan Tauhid (hlm. 53)
3. Fathul Majid (hlm. 53)
4,5,6, Meluruskan Tauhid (hlm. 53)
7. Tafsir Ibnu Katsir (hlm. 24)
8. Kitabu Qaulu Sadied (hlm. 37)
9. a- Al-Wala
b- Majalah Al-Muslimun
»» SELENGKAPNYA...